KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL
Indonesia
merupakan negara yang mempunyai penduduk sangat padat terutama di kota-kota
besar. Dengan jumlah penduduk yang sangat padat tersebut, membuat Indonesia
banyak mengalami masalah sosial. Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial
adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat,
yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara
unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti
kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Masalah sosial muncul
akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan
realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses
sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah,
organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah
sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor
Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor
Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor
Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor
Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Pada
kesempatan ini, saya akan membahas salah satu masalah sosial yang diakibatkan
oleh faktor ekonomi, yaitu kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana
terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian
, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan
oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan juga merupakan masalah global, sebagian
orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang
lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan
saat ini memang merupakan suatu kendala dalam masyarakat ataupun dalam rung
lingkup yang lebih luas. Kemiskinan menjadi masalah sosial karena ketika
kemiskinan mulai merabah atau bertambah banyak maka angka kriminalitas yang ada
akan meningkat. Banyak orang saat ini menerjemahkan kemiskinan sebagai pangkal
penyebab masalah sosial dan ekonomi. Kini kemiskinan menjadi masalah sosial
ketika stratifikasi dalm masyarakat sudah menciptakan tingkatan atau
garis-garis pembatas. sehingga adanya kejanggalan atau batas pemisah dalam
interaksi atau komunikasi antara orang yang berada di tingkatan yang dibawah
dan di atasnya.
Kemiskinan
juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang akhirnya akan merusak
lingkungan itu sendiri. Penduduk miskin yang terdesak akan mencari lahan-lahan
kritis atau lahan-lahan konservasi sebagai tempat pemukiman. Lahan-lahan yang
seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga atau mempunyai fungsi konservasi
tersebut akan kehilangan fungsi lingkungannya setelah dimanfaatkan untuk
kawasan pemukiman. Akibat berikutnya, maka akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan lingkungan.
Selain itu,
penduduk miskin pun akan sulit dalam hal mencari lapangan pekerjaan, penduduk
miskin tanpa mata pencaharian akan memanfaatkan lingkungan sekitar, sebagai
usaha dalam memenuhi kebutuhannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah ekologis
yang berlaku. Karena desakan ekonomi, banyak penduduk yang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya memasuki kawasan-kawasan yang sebenarnya dilindungi, apabila
tidak dicegah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama menyebabkan kawasan
lindung akan berkurang bahkan hilang sama sekali, yang berdampak pada hilangnya
fungsi lingkungan (sebagai pemberi jasa lingkungan). Selain itu menyebabkan
tindakan kriminal yang menyebabkan permasalahan baru dalam hal masalah sosial.
Dengan
pergantian kepemimpinan pun juga tak mampu menekan jumlah masyarakat miskin.
Bukannya masyarakat miskin yang terus berkurang malah isu-isu ketimpangan
sosial yang justru muncul kepermukaan tak memandang itu di perkotaan maupun di
pedesaan. Dewasa ini penggalakan program pemerintah dalam mengentasan
kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terus dilaksanakan, dengan demikian
pemberian bantuan kesetiap kecamatan berupa kucuran dana guna mendukung
perencanaan masyarakat dalam pengembangan daerahnya dan juga program pemerintah
berupa pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan di perkotaan. Hal ini belum
mampu mengangkat masyarakat marginal dan terpinggirkan dari garis kemiskinan.
Dapat pula kemiskinan di sekitar kita telah menjadi bagian dari mentalitas
masyarakat sehingga setiap individu akhirnya merasa nyaman dengan hidupnya
meskipun bila dilihat secara kasat mata justru kehidupan mereka di pandang
tidak layak, dapat pula kemiskinan itu terbentuk dengan eksploitasi kelas
sosial di atasnya.
Ketidakmampuan
pemerintah dalam mengentaskan masalah ini di perparah dengan di terbitkannya
aturan yang melarang orang miskin seperti misalnya pelarangan menggelandang,
mengemis, mengamen dan pekerjaan orang miskin lainnya di tambah dengan aturan
memberikan sanksi bagi orang yang memberikan sumbagan kepada orang-orang yang
menjalani profesi seperti yang di sebutkan diatas. Dimana ruh dan jiwa mulia
undang-undang pasal 34 mengenai orang miskin di negara ini di letakkan yang
berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara” Di
masyarakat Indonesia jumlah rakyat miskin yang tak juga semakin rendah tentunya
akan banyak di temui fenomena seperti ini. Masyarakat yang plural dan
heterogoen bukan merupakan suatu dukungan yang baik untuk membantu dalam
mengentaskan kemiskinan. Untuk membahas masalah kemiskinan perlu di
identifikasi apa sebenarnya yang di maksud dengan miskin atau kemiskinan dan
bagaimana mengukurnya.
Konsep yang
berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula, setelah itu di cari
faktor-faktor dominan baik sifatnya kultural maupun struktural yang menyebabkan
kemiskinan terjadi dan yang terakhir adalah mencari solusi yang relevan dari
permasalahan itu. Seperti apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto tentang peran
sosiologi dalam melihat kemiskinan yaitu sosiologi menyeidiki
persoalan-persoalan umum pada masyarakat dengan maksud menemukan dan
menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan bermasyarakat sedangkan usaha-usaha
perbaikannya merupakan bahagian dari pekerjaan sosial.
Masyarakat
miskin cenderung disingkirkan karena selalu dituduh sebagai penghambat
pembangunan dan kemajuan. Tidak semua pembangunan fisik dan spiritual
memperhatikan kepentingan masyarakat. Akibatnya, tujuan pembangunan nasional
untuk menciptakan atau mencapai masyarakat adil dan makmur sesuai nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam pembukaan UUD 45, hanya terwujud pada sebagian
masyarakat atau kolompok yang dekat dengan pusat kekuasaan tingkat pusat sampai
di pelosok-pelosok negeri. Dan paradoksnya adalah, di sana-sini, tercipta
komunitas masyarakat tersisih dan tertinggal karena korban pembangunan sebagai
si miskin. Menelusuri kemiskinan merupakan sesuatu yang cukup kompleks,
ada beberapa catatan yang bisa menjadi acuan tentang kemiskinan terutama di
Indonesia, yaitu:
- Adanya kemiskinan karena angka kelahiran yang tinggi
Kelompok masyarakat
yang tidak maju lebih sering dan cenderung disebut kaum miskin yang sarat
dengan kemiskinan. Kemiskinan ini juga selalu mengalami pertumbuhan dengan
pesat atau bertambah banyak jumlahnya terutama karena angka kelahiran yang
tingi. Angka kelahiran kaum miskin di negara-negara dunia ketiga termasuk pada
wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang tinggi, pada konteks tertentu, tidak
seimbang dengan tingkat kematian. Pertumbuhan kemiskinan yang sangat pesat ini
terjadi hampir semua lokasi atau tempat mereka berada. Dengan demikian, pada
umumnya mereka k hampir tidak mempunyai apa-apa selain anak; karena mereka
tidak banyak berbuat apa-apa, selain prokreasi dan reproduksi.
- Mereka tetap miskin karena menutup diri dari pengaruh luar
Tatanan
serta keteraturan suatu komunitas masyarakat di suatu daerah merupakan warisan
secara turun-temurun. Dan jika komunitas itu mempunyai kontak dengan yang lain,
maka akan terjadi saling meniru kemudian masing-masing mengembangkan hasil
tiruan itu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan itu, dapat dipahami
bahwa hubungan sosial antar manusia, dan antar masyarakat bersifat mempengaruhi
satu sama lain. Namun, tidak menutup kemungkinan, walau terjadi interaksi, ada
kelompok atau komunitas yang tidak mengembangkan diri, sehingga tetap berada
pola-pola hidup dan kehidupan statis. Akibatnya, mereka tidak mengalami
kemajuan yang berarti sehingga mereka tetap dalam keberadaanya yaitu
kemiskinan.
- Mereka tercipta karena korban ketidakadilan para pengusaha
Kemajuan
sebagian masyarakat global termasuk Indonesia yang mencapai era teknologi dan
industri ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya
agar mencapai kesetaraan. Para pengusaha teknologi dan industri tetap
membutuhkan kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai
buruh. Dan dengan itu, karena alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah
standar atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan,
transportasi, uang makan, dan lain sebagianya.
Para buruh
tersebut harus menerima keadaan itu karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk
bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas
hidupnya. Secara langsung, mereka telah menjadi korban ketidakadilan para
pengusaha konglomerat hitam yang sekaligus sebagai penindas sesama manusia dan
pencipta langgengnya kemiskinan. Para buruh laki-laki dan perempuan harus
menderita karena bekerja selama 12 jam per hari bahkan lebih, walau upahnya tak
memadai. Kondisi buruk yang dialami oleh para buruh tersebut juga membuat
dirinya semakin terpuruk di tengah lingkungan sosial kemajuan di sekitarnya
terutama para buruh migran pada wilayah metropolitan.
Sistem kerja
yang hanya mengutamakan keuntungan majikan, telah memaksa para buruh untuk bekerja
demikian keras. Sehingga kehidupan yang standar, wajar dan normal,
yang seharusnya dialami oleh para buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka.
Fisik dan mental para buruh yang giat bekerja tetapi tetap miskin, telah
dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis. Mereka dipaksa untuk
menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme mesin-mesin pabrik dan
ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan perubahan dan
keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada kondisi kemiskinan.
Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali hanya untuk
melakukan aktivitas pokok makhluk hidup [makan, minum, tidur], di sekitar
mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.
- Mereka tetap ada karena adanya pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh penguasa dan pengusaha
Situasi dan
kondisi kehidupan komunitas masyarakat [mereka yang tersisih dan tertinggal]
miskin diperparah lagi dengan tanpa kesempatan memperoleh pendidikan, tingkat
kesehatan rendah, serta berbagai keterbatasan dan ketidakmampuan lainnya.
Mereka ada di mana-mana, pada daerah terpencil, di tepi-tepi pantai, pinggiran
kali dan rel kereta api, bahkan wilayah-wilayah atau daerah-daerah kumuh di
perkotaan. Kompleksitas masyarakat miskin seperti
itu, sengaja dibiarkan begitu saja oleh para penguasa dan pengusaha
agar tetap terjadi suatu ketergantungan. Jika ada bencana alam, mereka
dibutuhkan agar bisa melakukan charity advertenrial, atau tindakan
bantuan sosial yang mengandung nilai iklan bahwa sang pemberi bantuan sebagai
orang baik hati serta mempunyai kepedulian kepada kaum miskin [misalnya, jika
terjadi bencana [tsunami, banjir, gempa bumi, tanah longsor,
kebakaran].Perhatian kepada kaum miskin yang hanya berupa charity
advertenrial ini, bisa dan biasa dilakukan oleh pejabat, penguasa,
tokoh agama, politik, artis, dan lain sebagainya. Dengan itu menghasilkan kaum
miskin yang tetap menengadah tangan untuk meminta belaskasihan akibat
penderitaannya. Mereka memeriksa kesehatan jika ada bhakti sosial kesehatan;
makan dengan nilai gizi baik karena ada bantuan serta droping pangan,
dan seterusnya.
Mereka
dihitung, jika tiba saat membutuhkan dukungan suara agar menjadi pemimpin
daerah ataupun anggota legislatif. Mereka diperlukan, jika ingin melakukan
demonstrasi [plus kerusuhan] melawan pemerintah. Bahkan, jumlah mereka
dikurangi karena salah satu ukuran keberhasilan pemerintah adalah berkurangnya
masyarakat atau orang miskin. Ataupun, jumlah mereka ditambah karena dipakai
oleh kaum oposan [kaum oposisi yang dimaksud adalah orang-orang di luar
lingkaran pemerintah] sebagai salah satu tolok ukur ketidakberhasilan serta
ketidakbecusan pemerintah mengelola negara.
Sementara
itu, andil penguasa wilayah dan nasional [yang sering berkonspirasi dengan
pengusaha hitam] untuk meningkatkan pertumbuhan masyarakat miskin pun cukup
besar. Berbagai rekayasa jahat, pengusaha [konglomerat hitam] memakai
tangan-tangan kotor penguasa untuk membebaskan lahan [dengan alasan pembangunan
fasilitas umum] dengan nilai harga di bawah standar. Lahan atau persil dengan
mudah berpindah kepemilikan [kepada para penguasa hitam dan jahat],
karena pemiliknya [biasanya mereka adalah penduduk asli yang kurang pendidikan]
tergiur sejumlah rupiah. Namun, karena ketidakmampuan memanagekeuangan,
dalam tempo tidak terlalu lama mereka menjadi kaum miskin baru [walau sesaat
yang lalu mereka adalah orang kaya baru karena menjual tanah].
Seringkali
penguasa dengan slogan politis memerangi kemiskinan, maka siapapun yang
mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, politik dan keamanan serta pembangunan
[akan] dianggap sebagai musuh. Karena itu banyak tanah milik komunitas suku
bangsa yang tiba-tiba diperlukan area perkebunan, bandara, lapangan golf,
pabrik, dan lain-lain. Ketika mereka [pemilik tanah] mempertahankan
kepemilikannya, mereka dianggap sebagai penghambat pembangunan. Demikian juga,
penyingkiran terhadap masyarakat, jika wilayah atau di alam bumi pada lokasi
tempat tinggal mereka mengandung mineral atau barang tambang lainnya. Banyak
masyarakat yang bermukim di tempat yang dianggap salah karena
desanya lebih menguntungkan untuk dibangun waduk raksasa. Demikian pula ada
masyarakat yang tiba-tiba harus menerima nasib untuk dipindahkan dari wilayah
permukimannya, karena tanah mereka lebih cocok untuk proyek [mercu suar]
pembangunan, serta tempat latihan perang. Dan tidak sedikit masyarakat kota
tadinya berkecukupan tersingkir ke wilayah pinggiran dengan kemiskinan. Bahkan
tidak sedikit yang akhirnya menjadi kaum urban yang mengemis serta
mengais-ngais sampah di metropolitan untuk mempertahankan hidupnya.
Di sini,
jelas bahwa adanya kaum miskin bukan semata-mata karena sebagai paradoks
pembangunan, tetapi juga karena pembiaran-pembiaran pengusaha dan penguasa
terhadap keberadaan mereka agar sewaktu-waktu dapat dipakai atau difungsikan
sebagai salah satu alat untuk mencapai kedudukan, ketenaran, kekuasaan, serta
rencana kejahatan yang tersembunyi.
- Mereka menjadi miskin karena manajemen keluarga yang buruk
Pada
umumnya, pada masyarakat [kota dan desa] ada orang-orang yang dikategorikan
sebagai orang kaya. Dalam arti mereka mempunyai beberapa kelebihan jika
dibandingkan dengan lainnya. Pada masyarakat desa, kelebihan mereka yang
disebut orang kaya antara lain mempunyai beberapa persil tanah, lebih dari satu
bidang sawah serta ladang, memiliki puluhan atau ratusan ekor ternak, bahkan
mempunyai lebih dari satu isteri. Sedangkan pada masyarakat perkotaan, mereka
mempunyai lebih dari satu rumah dan mobil, tabungan dan deposito, pekerjaan
yang mapan, dan lain-lain.
Walau
mungkin tidak bisa menjadi acuan, penilaian tentang ciri-ciri orang kaya
seperti itu, sudah menjadi pandangan umum dalam masyarakat. Namun, sejalan
dengan perubahan waktu, keturunan [pada umumnya generasi ketiga dan keempat]
orang-orang yang tadinya kaya tersebut ternyata menjadi miskin. Masyarakat atau
orang lain yang mengenalnya hanya bisa bercerita dan mengenang orang tua atau
kakek dan nenek mereka yang kaya raya.
Hal tersebut
terjadi karena keluarga-keluarga kaya itu salah memanage keuangan ataupun harta
bendanya. Bisa saja terjadi, anak-anak orang kaya [karena mengandalkan
kekayaannya] tidak mau menata diri dengan pendidikan yang baik, akibatnya
mereka menjadi orang kaya yang bodoh. Dalam sikon kebodohan itu, mereka tidak
mampu mengelola hartanya dengan baik dan benar. Mereka hanya bisa menjual harta
benda untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan. Akibatnya dalam kurun waktu
tertentu harta benda mereka habis, sehingga lambat laun mereka menjadi miskin.
Jadi, sangat
jelas bahwa tidak ada seorang pun yang diciptakan TUHAN [ini jika kita mengakui
bahwa manusia diciptakan TUHAN Allah, bukan karena proses evolusi] dalam
keadaan melarat atau bergelimang dengan kemiskinan. Dan dengan itu, [menurut
saya] juga tidak ada seorang pun bercita-cita atau berkeinginan untuk menikmati
hidup dan kehidupan penuh kemiskinan. Akan tetapi, dalam kenyataanya,
kemiskinan itu ada di sekitar komunitas serta terdapat pada banyak tempat.
Kemiskinan ada di mana-mana, ia tidak mengenal ras maupun budaya.
Secara
sosiologis dan teologis, kemiskinan muncul karena kompleksitas carut marut
sikap manusia terhadap sesamanya; muncul karena diciptakan oleh manusia;
berkembang seiring dengan pertumbuhan masyarakat; akibat tindakan kriminal
[kejahatan dan semua bentuk-bentuknya] terhadap sesama manusia; semakin
berkembang akibat peperangan [antar bangsa, suku, komunitas agama], genocide,
sentimen agama, tekanan politik, penindasan fisik serta psikologis terhadap
orang lain. Juga, kemiskinan bisa ada karena perencanaan terstruktur suatu
kelompok masyarakat tertentu [yang lebih kuat, mayoritas] kepada yang lain.
Dengan demikian, orang kaya dan orang miskin, kemiskinan dan kekayaan, bagaikan
dua sisi mata uang; tetapi sekaligus terdapat jurang pemisah dan saling tidak
peduli satu sama lain.
Dengan demikian, dampak dari kemiskinan menyangkut semua aspek hidup dan kehidupan [yang utuh] seseorang, sekaligus menembus lingkungan tatanan sosial masyarakat dan bangsa.
Dengan demikian, dampak dari kemiskinan menyangkut semua aspek hidup dan kehidupan [yang utuh] seseorang, sekaligus menembus lingkungan tatanan sosial masyarakat dan bangsa.
Memang, pada
satu sisi, di beberapa tempat [karena alasan-alasan keagamaan dan budaya], ada
kaum miskin yang nrimo keadaannya karena bersifat fatalistik atau terima
nasib semuanya itu sebagai kehendak ilahi; Sang Ilahi lah yang
menghendaki mereka miskin serta bergelut dengan kemiskinan; bagi mereka
kemiskinan serta sikon serba kekurangan adalah cobaan Tuhan. Akan tetapi, di
sisi lain, kemiskinan berdampak pada berbagai ketidakmampuan, sehingga kaum
miskin syarat dengan hal-hal berikut:
- gizi buruk, tingkat kesehatan rendah, mudah terjangkit bermacam-macam penyakit, terutama penyakit kulit seperti kudis, panu, kusta, dan lain-lain.
- tingkat pendidikan rendah atau hanya mencapai sekolah dasar, bahkan ada yang sama sekali tidak bersekolah.
- kecenderungan berperilaku anti sosial dan kemapanan, agresif-impulsif, seks bebas, penyalahgunaan berbagai zat dan obat terlarang.
- mempunyai rentan untuk diajak melakukan berbagai tindakan kriminal, kekerasan sosial, demontrasi [dengan imbalan sejumlah uang].
- membangun tempat tinggal di pinggir rel kereta api, bantaran sungai, kolong jembatan, sekitar tempat pembuangan sampah, serta di tempat kumuh.
- menjadi kaum urban di kota-kota yang relatif lebih maju; kemudian menjadi kaum miskin kota yang bertahan hidup dengan mengemis.
- mudah menelantarkan anggota keluarga [terutama anak-anak]; anak-anak dari orang tua yang miskin, cenderung bersikap kasar kepada anak-anaknya; untuk menghindar perlakuan buruk itu, anak-anak tersebut bergerombol di perapatan jalan, pasar, pusat pertokoan, terminal bus dan tempat keramaian lainnya yang memungkinkan mereka mendapatkan uang.
- berkerja serabutan untuk sekedar mendapat makanan agar bertahan hidup; bahkan menjadi pelacur [perempuan] dan gigolo [laki-laki].
Maka seluruh
umat manusia [keseluruhan masyarakat] juga bertanggung jawab untuk memerangi
dan mengentaskan kemiskinan. Upaya mengentaskan kemiskinan tidak bisa
dilepaskan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat ataupun pemerintah, karena
merupakan masalah bersama dan membutuhkan penanganan yang holistik. Oleh sebab
itu, perlu suatu etikad baik [yang berlandaskan kasih dan keadilan, sesuai yang
diajarkan dalam agama-agama] pada diri semua orang bahwa dirinya ikut
bertanggungjawab secara langsung maupun tidak agar sesamanya bebas dari
kemiskinan.
Ini
merupakan tugas dan panggilan ilahi kepada semua umat manusia; sekaligus
mempunyai nilai luhur serta mulia yang mengkesampingkan egoistik serta
kepentingan diri sendiri. Pada masa ini, sesuai dengan konteks kekinian, hidup
dan kehidupan manusia setiap hari merupakan suatu interaksi saling kait-mengait
satu sama lain. Suatu perubahan pada seseorang [sekecil apapun] akan berdampak
pada yang lain. Dengan itu, jika sikon kaum miskin berubah jadi sejahtera, maka
orang-orang di sekitarnya pun bisa merasakan dampaknya. Sebaliknya, jika
masyarakat mampu, mempunyai etikad baik untuk memerangi kemiskinan, maka
dampaknya akan dirasakan oleh orang-orang miskin. Jadi, semuanya terkena dampak
langsung maupun tidak, dari proses pengentasan kemiskinan. Sehingga
penanganannya pun ditampilkan sebagai perencanaan [dan dilakukan] secara
menyeluruh.
Dengan itu,
perlu ada orang-orang yang setia dan tekun serta masih mempunyai harapan ideal
untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan. Oleh sebab itu, bukan hanya
keterliatan masyarakat, tetapi juga perlu adanya good governance,
yang jujur, bebas dari korupsi, adil, demokrasi, transparansi, dan
akuntabilitas, dan mendorong adanya kepastian hukum, sehingga mendatangkan
[membuka peluang] untuk partisipasi masyarakat dalam menangani kaum miskin..