ETIKA BERMEDIA SOSIAL
Tidak diragukan lagi, kini orang makin lebih sering
menggunakan media sosial. Dengan komputer, tablet, smartphone dan ponsel biasa
media sosial dapat dijangkau. Biaya langganan internet mobile yang semakin
murah membuat cuap-cuap di media sosial semakin menjadi-jadi. Aplagi bagi
kalangan tertentu, bermedia sosial memberikan sensasi lebih karena mungkin bisa
mencitrakan diri lebih baik dan mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Kita bisa
heran, begitu pentingnya media sosial bagi sebagian orang Indonesia khususnya
yang terkoneksi dengan internet. Berbagai tingkah polah pengguna media sosial
dapat kita saksikan setiap hari. Ada yang hanya sebagai pengguna biasa,
menikmati model pertemanan baru yang lebih intim, tetapi berjarak nyata. Ada
juga yang ingin berbagai opini, membagi ilmu, berdakwah dan dukung-mendukung
calon gubernur.
Interaksi
pengguna media sosial, khususnya Twitter yang setiap hari saya ikuti, mungkin
sebuah interaksi yang tanpa henti. Sedari pagi, siang, sore, malam hingga dini
hari kemudian pagi lagi, media sosial Twitter riuh rendah dengan berbagai
kejadian. Ada yang melakukan perang, menjelekkan pihak-pihak tertentu yang
tidak disukainya atau tidak disukai oleh orang yang membayarnya. Ada yang
berdiskusi serius, membagi ilmu melalui kul-tweet dan masih banyak lainnya.
Sayangnya, kegiatan menggunakan media sosial belumlah
disertai dengan pengetahuan yang cukup baik. Banyak kita lihat kelucuan bahkan
kebodohan, bahkan dari pejabat sekelas wamenkumham dalam menggunakan media
sosial Twitter. Banyak pengguna merasa bahwa cuap-cuap di media sosial itu
tanpa sanksi hukum sehingga bisa seenaknya melakukan bullying terhadap
orang lain.
Bila kita
lihat data yang dikemukakan oleh ICT Watch di tahun 2011 ternyata hampir semua
pengguna internet memanfaatkan media sosial yang terdiri dari Facebook,
Twitter, Google Plus, YouTube, Flickr, Forum dan Blog sebagai sarana
menyalurkan ekspresi. Ini artinya pengguna internet Indonesia sebagian besar
sangat akrab dengan media sosial. Data yang lebih umum dapat kita lihat
dari jumlah pengguna Facebook Indonesia yang menempati posisi keempat terbesar
di dunia dan posisi kelima di Twitter. Ini artinya sebagian besar mereka yang
terkonekasi dengan internet sangat akrab dengan media sosial, seperti Facebook
dan Twitter.
Ada hal yang perlu kita kritisi dari keterlibatan
pengguna internet dalam media sosial. Data ICT Watch mengungkapkan 68% dari
pengguna internet dalam mengungkapkan ekspresinya belum beretika. Ini hal yang
sangat penting kita kritisi dan semakin hari, semakin banyak saja kejadian tak
beretika yang terjadi di media sosial khususnya.
Mungkin ini
namanya zaman kebebasan. Siapa saja yang punya koneksi internet bisa cuap-cuap
di media sosial. Bahkan ada indikasi yang mengarah kepada dimanfaatkannya media
sosial seperti Twitter sebagai sarana untuk melakukan fitnah. Ini terkait
dengan data-data tertentu yang diungkap tentang seseorang tokoh yang mungkin
tidak disukai atau memang dibayar untuk melakukan fitnah tersebut. Padahal akurasi
data di Twitter tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Tidak
beretikanya sebagian pengguna media sosial saya rasa didorong oleh ketiadaan
sanksi hukum yang tegas. Jamak kita lihat bila ada penghinaan terhadap
seseorang di Twitter, yang dihina lebih menahan diri atau malah membiarkan
begitu saja hal tersebut. Mungkin karena sulit juga untuk diklasifikasikan ke
mana kasus penghinaan tersebut. Saya rasa meski sudah ada undang-undang ITE,
undang-undang ini mungkin belum bisa memayungi kemajuan media sosial yang
sangat kencang dua tahun terakhir ini.
Sisi hukum
memang selalu tertinggal dibandingkan dengan kemajuan teknologi. Perlindungan
bagi pengguna Facebook dan Twitter jika suatu waktu mereka dirugikan
hampir-hampir tidak ada yang spesifik sehingga memungkinkan banyak kejadian
yang merugikan pengguna. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa jika masih
belum ada sanksi hukum yang tegas, kegiatan tak beretika di media sosial akan
terus dan terus terjadi dan akan semakin meningkat, terutama bila ada peristiwa
penting seperti Pemilu atau Pilkada.
Hal lain
yang perlu kita kritisi adalah anggapan terpisahnya dunia maya, dunia media
sosial dengan kehidupan keseharian. Mungkin sebagian kita beranggapan kalaupun
dihina di media sosial, belum tentu berpengaruh ke kehidupan nyata. Padahal
akibat penghinaan tersebut bisa menciderai jiwa dan akan sulit untuk hilang.
Untuk itu perlu rasanya kita memahami bahwa kehidupan kita di dunia maya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan di dunia nyata. Makin hari
kehidupan di media sosial akan makin memengaruhi kehidupan nyata dan apabila
tidak dijaga dengan baik akan memperburuk kehidupan di dunia nyata.
Hal aneh
bagi saya, melihat banyak orang bersitegang urat leher untuk mempertahankan
opini yang mereka buat. Banyak pengguna Twitter yang saya ikuti melakukan tweet
seolah-olah tweet itu adalah kebenaran sejati yang perlu dibela sampai mati.
Apa pula sebenarnya pentingnya beropini seperti itu. Jika kita lebih cerdas,
ada baiknya menuliskan dalam artikel yang lebih tertata dengan baik dan tentu
penuh dengan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.